Kenapa Banyak yang Hawatir Muncul Lagi Dwifungsi ABRI? Begini Sejarahnya

BINGKAINASIONAL.COM - Koalisi Masyarakat Sipil menggeruduk hotel tempat DPR menggelar rapat revisi UU TNI pada hari Jumat, 15 Maret 2025.

Andrie Yunus yang menjadi perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus Wakil Koordinator Kontras meminta agar DPR menghentikan rapat pembahasan RUU TNI karena digelar tertutup.

Selain itu, Andrie Yunus juga menilai jika revisi UU TNI ini berpotensi untuk melemahkan demokrasi dan memunculkan kembali dwifungsi ABRI.

Baca Juga: Kimisi I DPR dan Panglima TNI Pastikan Tidak Akan Muncul Dwifungsi ABRI Seperti di Zaman Orba

"Tolak RUU TNI, Tolak dwifungsi ABRI, Kembalikan TNI ke Barak," seru Andrie Yunus, Jumat di depan ruangan rapat tersebut, 15 Maret 2025.

Namun pernahkah anda bertanya-tanya, kenapa banyak yang hawatir akan kemunculan lagi dwifungsi ABRI di Indonesia? Ternyata hal demikian dilatarbelakangi sejarah panjang dari mulai kemunculan dwifungsi ABRI.

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI sendiri merupaka perangkat negara yang bertugas menjaga stabilitas negara dari dalam dan luar negara.

Baca Juga: Selain RUU TNI yang Digeruduk, DPR Pernah Gelar Beberapa Rapat di Hotel Mewah

ABRI ini terdiri dari dua unsur, yakni angkatan perang dan kepolisian. Namun angkatan perang tersebut berganti menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dwifungsi ABRI ini ada di masa Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1965 sampai 1998.

Dwifungsi ABRI ini berdasarkan pada ketetapan MPRS Nomor II Tahun 1969 yang membagi fungsi ABRI sebagai fungsi perang atau tempur dan fungsi pembinaan wilayah.

Baca Juga: Geruduk Rapat RUU TNI, Sentil DPR Berkegiatan di Hotel Mewah Saat yang Lain Terdampak Efisiensi

Karena ABRI juga turut berfungsi sebagai pengatur pemerintahan negara, maka ABRI juga dapat jatah kursi di MPR dan DPR semasa Orde Baru Soeharto. Bahkan ABRI tidak harus mengikuti Pemilu untuk mendapatkan kursi pemerintahan.

Namun seiring berjalannya waktu, keikutsertaan ABRI dalam memegang kekuasaan dianggap melemahkan demokrasi karena kerap terjadi pelanggaran HAM.