BINGKAINASIONAL.COM - Kehidupan di desa sering digambarkan sebagai tempat yang tenang, penuh kebersamaan, dan harmonis. Namun di balik wajah damai itu, banyak cerita yang tak pernah terucap tentang mereka yang diam-diam menderita secara mental, tanpa pernah benar-benar mendapatkan pertolongan.
Di lingkungan pedesaan, persoalan kesehatan mental masih dianggap tabu. Mereka yang mengalami kecemasan, depresi, atau trauma, sering kali memilih bungkam karena takut dicap lemah, kurang beriman, atau bahkan dianggap "tidak waras".
Dalam budaya yang menjunjung ketabahan dan rasa syukur, mengeluh sering dianggap dosa, sementara menangis bisa dinilai sebagai kelemahan. Maka, banyak penderitaan yang disimpan dalam diam, menumpuk, dan meledak dalam kesunyian.
Baca Juga: Berduka dalam Diam, Ketika Rasa Kehilangan Mengganggu Kesehatan Jiwa
Stigma dan Salah Kaprah
Salah satu tantangan terbesar dalam menangani isu kesehatan mental di pedesaan adalah stigma sosial. Gangguan kejiwaan masih sering dikaitkan dengan hal mistis seperti kerasukan atau diganggu makhluk halus atau dianggap sebagai hukuman karena kurang beribadah.
Dalam karya berjudul Kesehatan Mental (1969), Zakiah Daradjat menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan yang memiliki dasar ilmiah dan dapat ditangani melalui bantuan profesional.
Sayangnya, kurangnya pengetahuan membuat penderita kerap dijauhi, disembunyikan, bahkan dipasung. Tak jarang, keluarga lebih memilih menutupi kondisi tersebut karena takut dianggap aib.
Baca Juga: Lesti Kejora Dilaporkan atas Dugaan Pelanggaran Hak Cipta, Diduga Cover Lagu Tanpa Izin Sejak 2018
Keterbatasan Akses Layanan Profesional
Minimnya tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater di wilayah pedesaan juga menjadi masalah serius. Di banyak desa, fasilitas kesehatan dasar seperti puskesmas belum tentu memiliki layanan khusus kesehatan jiwa. Kalaupun ada, jaraknya jauh dan biayanya tidak murah.
Akibatnya, masyarakat lebih sering mendatangi dukun, ustaz, atau tokoh spiritual bukan semata-mata karena tidak percaya pada medis, tetapi karena itu satu-satunya akses yang tersedia.
Seperti dijelaskan oleh Latipun dalam Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan (2019), kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga menjadi tugas negara dan masyarakat untuk menyediakan layanan yang layak.
Baca Juga: Inilah Daftar 5 Jurusan di UIN Bandung Paling Diminati Calon Mahasiswa Baru Jalur Ujian Mandiri
Artikel Terkait
Tabrakan Beruntun Terjadi di Tol Purbaleunyi saat hujan deras.
Dedi Mulyadi Akui Bagi-Bagi Duit Hasil Ngoten
Syahrini Tanggapi Potret Wajahnya di Foto Getty Images dalam Unggahan Instasorynya
Info Rute Konvoi Persib Bandung pada 25 Mei 2025
Bojan Hodak Pastikan Semua Punggawa Persib Siap Tatap Laga Pamungkas BRI Liga 1 2024/25