Bingkai Nasional - Penetapan upah minimum merupakan salah satu aspek ketenagakerjaan yang menjadi isu hangat setiap tahunnya.
Memasuki tahun 2022 ini, misalnya, terjadi tarik ulur antara berbagai organisasi pekerja dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai seberapa kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dianggap layak dan tepat.
Ini bisa dipahami – upah minimum mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Sebenarnya, Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan juga telah mengatur cara lain, yakni melalui kewajiban penyusunan struktur skala upah, untuk meningkatkan gaji pegawai yang telah bekerja lebih dari setahun di suatu perusahaan.
Namun, tak banyak perusahaan yang menerapkan ini untuk menyejahterakan pegawai akibat minimnya pengawasan dari pemerintah.
Itulah mengapa upah minimum seolah menjadi satu-satunya kebijakan pengupahan yang terlihat, dapat dirasakan, dan bisa mudah diawasi oleh publik. Hal ini kemudian selalu memicu tarik ulur antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha.
Sayangnya, mekanisme penentuan tali hidup kaum pekerja ini juga menjadi semakin rumit dan pelik pada era UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya yang tak lagi memakai standar kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai acuan penetapan upah minimum, ditambah ketidakpastian hukum pasca Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU tersebut “cacat” secara hukum, menimbulkan makin banyak perdebatan atas angka mana yang pas digunakan untuk menetapkan upah minimum.
Bagaimana kerumitannya?
Lika-liku penetapan upah minimum
Pasca berlakunya UU Cipta Kerja, mekanisme penentuan upah minimum berubah menjadi semakin tidak berpihak pada kepentingan pekerja.
Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan – salah satu turunan UU Cipta Kerja – formula penentuan upah minimum hanya mengacu pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Ini meliputi variabel-variabel seperti kemampuan daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.
Salah satu kritik terhadap kebijakan ini adalah hilangnya pertimbangan atas kebutuhan hidup layak (KHL) dalam penentuan upah minimum. Acap kali, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan tidak berbanding lurus dengan kenaikan kebutuhan hidup pekerja.
Hal ini terbukti dari kisruh penetapan upah minimum tahun 2022.
Sejak November 2021, gelombang penolakan upah minimum Jakarta semakin membesar setelah pemerintah mengumumkan bahwa proyeksi kenaikan upah minimum provinsi hanya sekitar 1,09 persen.