Bingkai Nasional - Pernikahan, sebuah institusi yang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia sejak zaman dahulu kala, sering kali terbungkus dalam lapisan-lapisan harapan, ekspektasi, dan tekanan sosial.
Namun, di balik romantisme dan kebahagiaan yang sering disajikan dalam cerita-cerita, ada realitas yang tidak bisa diabaikan, yakni tekanan dari masyarakat untuk menikah dalam waktu yang 'tak terlalu lama'.
Pandangan ini seringkali disertai dengan stigma negatif terhadap individu yang belum menikah saat mencapai usia tertentu, menciptakan suasana di mana pernikahan terlihat seperti sebuah perlombaan, bukan pilihan hidup yang dijalani dengan kesadaran dan kesiapan.
Baca Juga: Persiapkan Dana Pernikahan Impian dengan Tips Menabung Jitu
Menghadapi Stigma Masyarakat
Di banyak budaya, terutama di lingkungan yang masih kental dengan tradisi, anggapan bahwa menikah adalah tujuan akhir dalam hidup seringkali menjadi norma tak tertulis.
Bagi banyak individu, terutama perempuan, tekanan untuk menikah muncul bahkan sebelum mereka mencapai usia matang.
Masyarakat seringkali memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap individu-individu muda untuk segera menetap dalam ikatan pernikahan.
Stigma sosial terhadap mereka yang belum menikah pada usia 30 tahun ke atas dapat menjadi sangat merugikan.
Mereka yang belum menikah di usia tersebut dapat disematkan label negatif seperti "prawan tua" atau "bujang lapuk", menyebabkan tekanan psikologis yang tak terelakkan.
Hal ini dapat merusak harga diri seseorang dan menyebabkan kecemasan akan masa depan.
Baca Juga: Tips Menabung Cepat Untuk Kamu Yang Belum Menikah
Pernikahan: Pilihan atau Kewajiban?
Pemikiran kolot dalam masyarakat menganggap pernikahan sebagai suatu kewajiban yang harus segera dilakukan, bukan sebagai pilihan yang dipertimbangkan dengan matang.