Puisi: Kecintaan Bapandaku

photo author
- Jumat, 8 September 2023 | 09:16 WIB
Ilustrasi Puisi Kecintaan Bapandaku (Foto: Pixabay/antonytrivet)
Ilustrasi Puisi Kecintaan Bapandaku (Foto: Pixabay/antonytrivet)

Kusebut berulang kali namaMu.
Kulipat erat kedua tanganku.
Dengan perantaraan tanganku yang berdosa ini.
Aku menyebut namaMu wahai sang pencipta langit dan bumi.

Kusebut berulang kali namamu.
Tersungkur aku di tanah keras yang berbatu.
Melalui tetesan air mataku ini.
Aku menentangmu wahai semesta yang buta hati.

Sudah bertahun-tahun lamanya. Penawar luka itu tak kunjung kutemukan.
Batin yang terkikis, teriris, beringis sekali rasa itu terus menerus memelukku hingga belati tertancap lebih dan lebih dalam lagi.
Berlayar dan berlabuh sendiri di pulau kosong tak berpenghuni, mencari makan dan minum sendiri.
Hidup penuh ketidaksempurnaan dan kekosongan yang abadi.

Berjanjilah padaku wahai semesta untuk tidak menyakiti bapandaku dengan cara apapun.
Sudah terlalu banyak luka kau limpahkan pada bahu yang lejar dan membungkuk itu.
Berbekal senyum dan berbahagia meneguk air dari mata air kehidupan.
Memaksa sanggup tanpa tahu diri sebenarnya sudah tak mampu.

Sejak kepergianmu wahai ibundaku, kecemasan, ketakutan, kesedihan, kemarahan tampak jelas dari bola matanya.
Engkau kecintaannya di atas segalanya penuh sumpah dan kejujuran yang maha tinggi ia tinggalkan segenggam tanah di atas peti mati kepunyaanmu pada liang kubur yang menjadi rumahmu.
Kecupan tulus terakhir diabadikannya pada sepetak nisan kepunyaanmu menjadi bukti selamanya kau adalah kecintaannya.
Engkau seorang tabib luka yang paling sempurna, meninggalkan luka dalam yang tak berujung ini.

Apa jadinya aku tanpa wanita absah, benah, seperti dirimu?
Apakah aku harus menunggu sekian ratus tahun lagi untuk menjadi kepunyaanmu?
Maukah kau menolongku kelak ketika dunia penghakimanku dimulai?
Maukah engkau kembali menjadi kecintaanku pada dunia selanjutnya?
Aku begitu tenggelam dalam kesedihan yang tak bertepi.
Kadang kutanyakan pada semesta, letak surga yang sebenarnya.
Jika aku tahu, aku akan menemuimu jauh sebelum hari ini.
Namun aku percaya jika kau dapat memilih takdir, mungkin kau takkan memilih. Kami mungkin tak jadi seperti ini.

Tarutung, 7 September 2023.***

(Irene Pandiangan)

Artikel Selanjutnya

Puisi: Kisah Kita

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Meidy Achmad Harish

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Puisi: Wrath Of Desire

Sabtu, 30 September 2023 | 11:59 WIB

Puisi: Nyanyian Panjang

Selasa, 26 September 2023 | 10:39 WIB

Puisi: Biarkan Cinta Mempercayaimu

Senin, 25 September 2023 | 16:50 WIB

Puisi: Kecintaan Bapandaku

Jumat, 8 September 2023 | 09:16 WIB

Cerpen: PERGI KE MASJID

Rabu, 14 Juni 2023 | 07:00 WIB

Cerpen: Yang Dinanti-nanti

Sabtu, 10 Juni 2023 | 05:30 WIB

Cerpen: Jangan Licik

Rabu, 7 Juni 2023 | 17:55 WIB

Cerpen: Yakin Pada Pertolongan Allah

Rabu, 31 Mei 2023 | 20:29 WIB

Cerpen: HARUS BIJAKSANA

Senin, 29 Mei 2023 | 19:56 WIB

Cerpen: Baca Al-Kahfi Ala Pak Haji

Kamis, 4 Mei 2023 | 17:59 WIB

Puisi: Persahabatan

Senin, 17 April 2023 | 22:53 WIB

Cerpen: PUASA TAPI GAK SHOLAT

Sabtu, 8 April 2023 | 15:51 WIB

Cerpen: Ngabuburit Sambil Menikmati Al-Kahfi

Jumat, 31 Maret 2023 | 17:54 WIB

Cerpen: PUASA RAMADHAN 1444 H

Selasa, 28 Maret 2023 | 21:17 WIB

5  Daftar Lomba Puisi Edisi Maret - Mei 2023

Sabtu, 25 Maret 2023 | 06:04 WIB

Cerpen: Berenang

Jumat, 24 Maret 2023 | 13:00 WIB

Cerpen: Tidak Terikat Logika

Kamis, 23 Maret 2023 | 04:06 WIB

Terpopuler

X