BINGKAINASIONAL.COM - Narasi indah tentang Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran Bandung sebagai "oase pendidikan" dan "rumah kedua" bagi anak-anak tunanetra kini tercoreng oleh kenyataan pahit.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, HMI Cabang Bandung menyebutkan keberadaan SLBN A Pajajaran yang telah berdiri sejak 1901, mengasuh dan mengembangkan potensi anak-anak berkebutuhan khusus dalam penglihatan, kini terancam pupus.
Ironisnya, bukan karena faktor alam atau keterbatasan internal, melainkan oleh kebijakan pemerintah sendiri yang justru seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak setiap warga negara, termasuk kelompok disabilitas.
Baca Juga: Setelah Terancam Degradasi, Madura United FC Pastikan Bertahan di BRI Liga 1 Musim Depan
Keputusan Kementerian Sosial (Kemensos) RI untuk secara sewenang-wenang mengalihfungsikan lahan SLBN A Pajajaran menjadi Sekolah Rakyat, sebuah program ambisius untuk menangani permasalahan pendidikan bagi masyarakat miskin, memunculkan pertanyaan mendasar tentang prioritas dan pemahaman akan isu sosial yang komprehensif.
Kendati urgensi Sekolah Rakyat tidak dapat dinafikan, tindakan mengorbankan eksistensi SLBN A Pajajaran adalah sebuah langkah kontraproduktif yang mengabaikan hak fundamental anak-anak tunanetra untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka.
Kemensos RI seolah menutup mata terhadap fakta bahwa SLBN A Pajajaran, dengan sejarah panjangnya, juga merupakan ruang pendidikan krusial bagi kelompok rentan yang telah berdiri lebih dari satu abad.
Baca Juga: Inilah 5 Artis yang Pernah Alami Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tindakan Kemensos RI ini bukan hanya menghilangkan ruang belajar dan berekspresi bagi anak-anak tunanetra, tetapi juga mencederai esensi inklusi sosial yang seharusnya dijunjung tinggi. Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pendidikan seluruh rakyat tanpa diskriminasi.
Mengorbankan SLBN A Pajajaran demi program lain, betapapun mulianya tujuannya, adalah bentuk pengabaian terhadap hak anak-anak disabilitas yang justru memiliki keterbatasan akses pendidikan yang signifikan. Ruang belajar yang terbatas bagi mereka seharusnya menjadi pertimbangan utama, bukan alasan untuk direnggut.
Lebih lanjut, proses pengalihan fungsi lahan ini terkesan terburu-buru dan tanpa perencanaan matang. Pemerintah terkesan hanya memberikan tuntutan pengosongan gedung tanpa menawarkan solusi relokasi yang memadai. Wacana pemindahan ke SLBN Cicendo, yang notabene merupakan sekolah untuk anak-anak tunarungu, semakin memperjelas ketidakpahaman pemerintah terhadap perbedaan kebutuhan dan metode pembelajaran antar jenis disabilitas.
Baca Juga: Tidur Cukup, Mental Sehat, Mengapa Istirahat Adalah Kunci Keseimbangan Emosi?
Keterbatasan ruang di SLBN Cicendo, sebagaimana diungkapkan oleh komite sekolah, menambah keprihatinan akan masa depan pendidikan anak-anak tunanetra Bandung. Kebijakan ini bukan hanya tidak solutif, tetapi juga berpotensi menciptakan masalah baru dan semakin memarginalkan kelompok disabilitas.
Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung Muhamad Arpan menyoroti kebijakan tersebut dengan menyebutkan bahwa langkah yang diambil Kemensos RI tersebut merupakan sebuah langkah kontroversial.
Artikel Terkait
Benarkah Coklat Efektif Jaga Kesehatan Mental? Begini Penjelasan Ilmiahnya!
Komdigi Tegaskan Aturan Baru Pos Komersial Tak Ganggu Promo Gratis Ongkir
Madura United Bisa Bernafas Lega, Tiga Tim Ini Mulai Panik Menghindari Zona Degradasi Liga 1
Mengenal Chery Tiggo 8, SUV Listrik 7 Seater Termurah di Indonesia
Pasutri Wajib Simak Ini Baik-Baik! Jangan Hancurkan Mental Anak Akibat Pertengkaran Orangtua